Saturday, December 18, 2004

 

Sandiwara Ramadhan


Semuanya kawan-kawan yang tercinta
Ayo siap kita bermain sandiwara
Siapkan kerudungnya dan jilbabnya
Kali ini kita tutup aurat kita

Siapkan sorban-sorban dan pecinya
Marilah hormati agama kita
Wahai Tuhan Yang Maha Suci
Terimalah pakaian kami

Apabila bulan Ramadhan
Telah datang
Agama jadi laris bukan buatan
Siapkan lambang-lambang dan kostumnya
Kenakanlah semua di depan kamera

Yang penting penampilan dan aktingnya
Yang penting warna-warni dan gayanya
Wahai Tuhan Yang Maha Suci
Terimalah pakaian kami

Emha


Thursday, December 16, 2004

 

Acara Gus Dur, Cak Nur, Megawati Dibubarkan oleh Tentara


Di jaman Orde Baru, menyelenggarakan turnamen sepakbola di tingkat lokal saja harus minta izin kepada Kepolisian. Jika berkumpul lebih dari 30 orang, berarti pertemuan massa, maka harus ada surat izin juga. Maka hari itu, di tahun 1996, Pesantren Tambak Beras Jombang, menyelenggarakan Seminar Nasional dengan pembicara KH AbdurahmanWahid, Megawati Sukarnoputri dan Dr. Nurkholish Madjid – meminta izinnya tak cukup kepada Kepolisian lokal, tetapi harus atas rekomendasi dari Kodam Brawijaya, suatu badan militer yang kekuasaannya meliputi seluruh provinsi Jawa Timur.

Itupun ketika acara berlangsung, setelah satu dua tahap para intel Kepolisian dan Militer mengirimkan report, akhirnya diambil keputusan oleh penguasa bahwa acara harus dibubarkan. Tatkala Cak Nurkholish Madjid berpidato di podium, datang sepasukan tentara membubarkan acara. Langsung bereaksilah seluruh hadirin, terutama para pemuda yang tergabung dalam dua organisasi Nahdlatul Ulama, yakni PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan Gerakan Pemuda Anshor.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” terdengar suara itu membahana di seluruh penjuru. Terjadi perlawanan langsung terhadap kedatangan tentara.

Sejak awal acara saya sebagai hadirin biasa duduk di luar ruangan, karena penuh, jongkok di sebuah pojok. Sudah jelas segera akan terjadi bentrokan fisik. Saya melompat dan berlari. Saya temui Komandan Pasukan Militer, saya rangkul pundaknya dan saya bisikkan ke telinganya:
“Kenapa Mas? Disuruh membubarkan acara ya?”
Sang Komandan menjawab: “Iya e Cak....”
“Anda membawa Surat Pembubaran Acara?”
“Ya”
“Sebentar ya Mas....” – kemudian saya menoleh ke arah para pemuda yang marah dan saya berkata: “Rek, tolong minta waktu 5 menit saja, tolong tenang selama 5 menit, sesudah itu mari bersama-sama melakukan perkelahian massal. Ya?”

Para pemuda itu, dari sorot mata dan gejala gerak mereka, bisa memaklumi permintaan saya. Spontan saya ajak Komandan berjalan – “Kita bicara sebentar saja di bawah pohon sebelah sana ya Mas...?”

Komandan berjalan bersama saya.
“Apa akibat bagi Sampeyan kalau tugas ini tak dilaksanakan?” tanya saya.
“Ya langsung dipecat Cak!” jawab Komandan.
“Oke, begini. Sampeyan saya antar naik podium, saya dampingi Sampeyan membacakan Surat Pembubaran, maka tugas sampeyan beres”

Tanpa menunggu jawabannya, saya langsung seret dia lagi mendekat ke tempat acara, memasuki ruangan, langsung naik ke mimbar sambil saya memberi kode kepada Cak Nur agar minggir.

Suasana sangat tegang. Dengan terbata-bata Komandan membacakan Surat Pembubaran Acara. Setelah selesai, saya ambil mikrofon dan memberi pengumuman: “Saudara-saudara, mohon mafhum acara kita skors lima menit”.

Kemudian Komandan saya ajak turun dan bersama pasukannya saya antar lagi ke seberang halaman di bawah pohon. “Tolong Sampeyan semua tunggu di sini sebentar saja. Acara seminar sudah dibubarkan oleh Pak Komandan, jadi kita semua sudah aman. Silahkan merokok-merokok dulu”.

Saya bergegas pergi masuk ruangan lagi dan langsung naik mimbar. “Saudara-saudara! Acara seminar telah dibubarkan. Sekarang marilah kita memulai acara yang baru.....” – saya melirik kepada Gus Dur: “Gus, enaknya apa nama acara kita yang baru ini ya?”

Gus Dur spontan menjawab: “Mauidlah Hasanah!”
“Mauidlah Hasanah. Nasehat yang baik. Baiklah Saudara-saudara, marilah kita mulai acara Mauidlah Hasanah ini dengan menampilkan pembicara pertama: Dr. Nurkholish Madjid! Kami persilahkan Cak Nur naik mimbar...”

Saya turun, menyongsong Cak Nur, beliaupun naik ke mimbar. Sekedar info, istilah Mauidlah Hasanah sampai sekarang dipakai oleh utamanya masyarakat NU untuk menyebut ceramah. Hari itulah lahirnya istilah itu, oleh Gus Dur, yang diambil dari ayat AlQur’an.

Cak Nur tenang berpidato, saya berlari menemui Komandan dan pasukannya. “Kita tenang saja di sini. Kita beri kesempatan mereka berunding apa yang harus mereka lakukan sesudah pembubaran ini”. Kami kemudian mengobrol panjang lebar.

Beberapa lama kemudian, karena merasa sudah menjalankan tugas dan aman, pasukan berpamit pulang ke markasnya. Saya mengantarkan sampai ke tepi jalan dan melambai-lambaikan tangan kepada mereka.

Para pemuda yang tadi sudah meneriakkan “Allahu Akbar!” dan mengacung-acungkan tangan, sekarang tertawa geli dan bergerundal di antara mereka. Acara berlangsung lancar. Ketika berakhir, ternyata saya diminta untuk memimpin doa penutupan.

Saya berdoa: “Ya Allah, jadikankanlah Abdurahman Wahid dan Megawati menjadi pengantin di pentas pelaminan kepeminpinan nasional....”

Ternyata beberapa tahun kemudian doa itu terkabul. Pengalaman pembubaran acara oleh militer itu membuat saya bersyukur karena selama era Orba ratusan kali saya menyelenggarakan acara tanpa izin. Kenapa tidak pernah dibubarkan? Kuncinya sederhana: di acara-acara saya tidak pernah ada tokoh penting. Jadi dianggap tidak membahayakan. Bintangnya bukan Gus Dur, Mega atau Cak Nur. Bintang acara saya adalah semua orang yang datang.

Beberapa pembacaan puisi dan pementasan saya dibubarkan ketika pentas atau tidak mendapatkan izin pentas, tetapi faktor bahayanya bagi penguasa tidak terletak pada saya, melainkan pada puisi atau reportoar dramanya.

--- Emha Ainun Nadjib, www.padhangmbulan.com


Tuesday, December 14, 2004

 

/* teringat Ayahku abaku tercinta terhormat

Apakah engkau belajar berjihad

__ Dan ditelikung oleh saudaramu sendiri

Apakah engkau beristiqomah mengibarkan bendera-bendera keilahian

__ Dan dilempari tombak oleh kekasih-kekasihmu sendiri

Apakah engkau pertahankan pencarian rodho Allah

__ Dan engkau dituding-tuding dan disetankan

Apakah engkau kukuhkan langkah-langkahmu

__ untuk membangun kebersamaan

__ dengan seluruh rakyat

__ didalam maiyah dengan Allah

__ maka engkau ditenung, disihir, disantet

__ oleh saudara-saudarmu sendiri

__ yang engkau sayangi

Aku katakan kepadamu:

__ Bersyukurlah, dan nikmatilah, karena memang Allah

__ sedang memerintahkanmu untuk

__ memetik kesengsaraan Rasulullah.

Ceweng, 27 Juli 2002

Emha Ainun Nadjib


Monday, December 13, 2004

 

Allah Merasa Heran(1)

Aku dendangkan
Aku dendangkan kepadaMu kalimat-kalimat kudus
firman-firman suci
alhadistil-Qudsy,
Cahaya ayat-ayat rahasia
yang merasuk kedalam kalbu kekasihNya,
Muhammad Shallahu 'alaihi Wa Sallam.
Dan sang kekasih menuturkannya,
menuturkannya:

Wahai hambaKu,
Akusakit,
kenapa engkau tidak menjengukKu.
Wahai hambaKu,
Aku lapar,
kenapa engkau tak memberiKu makan.
Wahai hambaKu,
Aku haus, Aku haus,
kenapa tak kau beri Aku minuman.
.....

Wahai Maha Pengasuh
betapa aku akan menjenguk Engkau
betapa mungkin Engkau sakit,
padahal Engkaulah Tuhan seluruh alam.
Wahai Tuhanku
betapa mungkin aku memberiMu makan,
padahal Engkaulah Maha Kaya seru sekalian alam,
Wahai Tuhan Pengasuh
betapa mungkin aku
memberiMu minuman
sedangkan Engkaulah penumpah rakhmat semesta alam.
.....

Wahai anak Adam
Kalau engkau menjenguk hambaKu yang sakit
niscaya engkau bertemu denganKu disisinya.
Wahai anak Adam
kalau engkau memberi makan kepada hambaKu yang kelaparan
niscaya engkau berjumpa dengaKu disisinya.
Wahai anak Adam
Sekiranya engkau memberikan seteguk minuman kepada hambaKu yang kehausan,
pastilah, pastilah,
pastilah engkau temukan Aku disisinya.
.....

Ya Allah
butanya aku, tulinya aku,
bebalnya aku, ya Allah.
===
Quoted by Redaksi from :
Emha Ainun Nadjib: "Isyarat Zaman (1): Allah Merasa Heran", Kanjeng Production
dan Studio21.


Sunday, December 12, 2004

 

Sexy Body Istri Tetangga.

Dengan Sapi pun, Kita Bekerja Sama
---

Dalam forum maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar,
seringsaya bertanya kepada forum:"Apakah anda punya tetangga?"
Biasanya dijawab: "Tentu punya"

"Punya istri enggak tetangga Anda?"
"Ya, punya dong"
"Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?"
"Secara khusus,tak pernah melihat"
"Jari-jari kakinya lima atau tujuh?"
"Tidak pernah memperhatikan"
"Body-nya sexy enggak?"

Hadirin biasanya tertawa. Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka:"Sexy
atau tidak bukan urusan kita,kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita
amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".

Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah
diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul
atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi
orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar
ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.

Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan
diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan
masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak
usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu
sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan,
biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau
melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah.

Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian
bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan
bahan-bahan jualannya. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama dibidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.

Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu,
kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia,
sedangkan dengan kerbau dan sapipun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dangan hati. Itulah
maiyah. (emha ainun nadjib)

This page is powered by Blogger. Isn't yours?